Jakarta - Seperti segala sektor melakukan transformasi, demikian juga Ditjen Dukcapil Kemendagri. Katakanlah saat UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminduk baru terbit, seseorang yang pindah domisili masih memerlukan pengantar RT/RW atau kelurahan/kecamatan.
"Sekarang apa masih perlu pindah dengan surat pengantar? Mengapa dulu perlu pengantar? Inilah kaitannya dengan digital tadi. Dulu Dukcapil belum punya big data kependudukan," kata Dirjen Dukcapil Prof. Zudan Arif Fakrulloh saat menutup Bimbingan Teknis Kapasitas Pengelola Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) Bagi Adminitrator Database (ADB) Provinsi dan Kabupaten/Kota Angkatan VI di Jakarta, Jumat (9/8/2019).
Zudan mengaku sangat berani membuat keputusan surat keterangan pindah domisili tanpa pengantar. "Sebab Dukcapil punya big data kependudukan. Semangat digital itu dibangun dengan big data," katanya menegaskan.
Sekarang, kata dia, ada kondisi yang tidak logis dan membuatnya gemas bukan main. Dukcapil yang punya data, kok minta surat keterangan ke RT/RW yang tidak menggenggam data. "Data kependudukan kita tidak ada di Ketua RT/RW. Lalu mengapa minta surat pengantar dari RT/RW. Herannya masih ada Disdukcapil yang mensyaratkan surat pengantar RT/RW. Bayangkan," gugatnya dongkol.
Apakah pengantar RT/RW benar-benar tak diperlukan lagi? "Tetap perlu bagi orang yang pertama kali masuk dalam Kartu Keluarga. Bagi ibu-ibu yang melahirkan di rumah perlu pengantar RT/RW untuk membuat akta kelahiran karena tak ada pengantar dari penolong persalinan. Meninggal di rumah perlu pengantar RT/RW untuk mengurus akta kematian. Tapi kalau meninggalnya di rumah sakit (RS) tak perlu, cukup dengan keterangan pihak RS," Zudan rinci menjelaskan.
Inilah transformasi pelayanan Dukcapil yang diharapkan Zudan bisa membangun branding baru. "Makanya Perpres No. 96 Tahun 2018 memasukkan kemudahan itu semua. Kita masuk ke satu era ketika pelayanan saja itu tidak cukup berhenti hanya melayani saja. Dukcapil ini bersyukur sebagai satu-satunya institusi pemerintah yang pekerjaannya tidak bisa disaingi oleh swasta," ujarnya seraya memberi contoh.
Apa yang dilakukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lain seperti Dinas Kesehatan, meskipun urusannya penting tapi masih boleh dilakukan swasta, seperti mendirikan RS Swasta. Sama halnya dengan Dinas Bina Marga membuat jalan, meski itu penting tapi pekerjaan membikin jalan boleh dilakukan swasta. Ada lagi yang urusan pelayanan yang dimonopoli oleh pemerintah, yaitu pelayanan perizinan. "Izin itu dimonopoli pemerintah karena ada batasan-batasan tertentu.
Kalau di Dukcapil tak ada KTP-el, KK, akta kematian, akta kelahiran yang boleh diterbitkan oleh swasta. "Tetapi sifat monopolistik ini tidak boleh membuat Dukcapil terlena karena merasa tidak ada pesaing. Karena kedudukan Dukcapil yang istimewa maka pelayanan yang diberikan harus lebih istimewa juga. Tidak boleh aparat Dukcapil melayani dengan semangat suka-suka hati saja. Itu semangatnya tadi pelayanan yang membahagiakan masyarakat," Zudan sangat clear menjelaskan. Dukcapil***
Komentar
Komentar di nonaktifkan.