Sumedang - Pekerjaan pokok Ditjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri adalah mencatat peristiwa kependudukan dan peristiwa penting. Peristiwa penting misalnya, lahir, menikah, mengangkat anak, cerai, dan meninggal dunia. Peristiwa kependudukan misalnya, pindah domisili atau pindah alamat.
Outputnya adalah 24 dokumen kependudukan untuk melindungi segenap bangsa. "Alumnus Fakultas Manajemen Pemerintahan di IPDN ini harus bisa membuat 24 dokumen kependudukan yang terdiri dari 14 surat keterangan, enam akta, tiga kartu, serta satu biodata penduduk. Setiap dokumen ada regulasi yang mengaturnya. Mari kita pelajari betul regulasi itu," pesan Dirjen Dukcapil Prof. Zudan Arif Fakrulloh saat memberikan kuliah umum di Balairung Rudini kampus yang kini bernama IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri) di Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, Rabu (21/10/2020).
Transformasi layanan adminduk
Dalam paparannya Dirjen Zudan menjelaskan perjalanan sejarah Dukcapil yang sangat panjang. Menurut Prof Zudan, masa sebelum tahun 1995 penyelenggaraan Adminduk dilakukan secara manual.
Pada 1995 dimulailah penerapan Sistem Administrasi Kependudukan (Simduk). "Inilah sistem administrasi yang pertama digunakan di Indonesia di sektor adminduk," ujarnya.
Di tahun 2001 dibentuklah Ditjen Adminduk yang kemudian menjadi Ditjen Dukcapil. Dulu Dukcapil berada di bawah Ditjen Pemerintahan Umum dan Otonomi daerah (PUOD) dengan jabatan setingkat eselon IV. Dukcapil saat itu lebih dikenal dengan Kantor Catatan Sipil.
Lantas tahun 2004 keluar Keppres No. 88 yang mengatur tentang SIAK atau Sistem Informasi Administrasi Kependudukan.
Budaya adminduk yang dibangun sejak zaman Belanda, baru memiliki regulasi pada 2006 melalui UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk.
"Berkat penerapan SIAK maka perkembangan selanjutnya tahun 2009 hingga 2011 dimulai program pemutakhiran data penduduk dengan menerbitkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) serta KTP berbasis NIK nasional yang sekarang dikenal dengan KTP elektronik (KTP-el)," beber Prof. Zudan.
Pada 2013 UU Adminduk No 23/2006 disempurnakan menjadi UU No. 24/2013. "Inilah landasan yang kokoh dalam layanan adminduk bagi penduduk Indonesia yang jumlahnya nomor 4 terbesar di dunia."
Berkat penerapan NIK nasional yang akhirnya menjadi basis pelayanan publik maka pada 2015 dimulai era pemanfaatan data berdasarkan Peraturan Mendagri No. 61 Tahun 2015 tentang Persyaratan, Ruang Lingkup dan Tata Cara Pemberian Hak Akses serta Pemanfaatan NIK, Data Kependudukan dan KTP Elektronik.
"Dengan sistem SIAK yang makin kokoh dan data base kependudukan yang terbangun menjadi big data kependudukan by name by address, maka mulai 2016 dimulailah era pelayanan pencatatan sipil secara online melalui Permendagri No. 9 Tahun 2016 tentang Percepatan Peningkatan Cakupan Kepemilikan Akta Kelahiran," ujarnya menjelaskan di hadapan ratusan mahasiswa Fakultas Manajemen Pemerintahan di IPDN.
Dalam perkembangan selanjutnya tahun 2019 seluruh layanan Dukcapil melakukan revolusi dari manual menjadi digital. Dalam Rakornas Dukcapil di Makassar diluncurkan program Dukcapil Go Digital dengan dasar hukum Permendagri No. 7 Tahun 2019 tentang Pelayanan Adminduk Secara Daring.
Saat itu juga sejumlah kepala dinas dukcapil mulai menerapkan tanda tangan elektronik (TTE) untuk menandatangani dokumen kependudukan. Program Digitalisasi layanan adminduk dengan penerapan TTE merupakan lompatan yang sangat besar bagi Dukcapil.
"Dengan menerapkan TTE kantor Dukcapil serasa ada di mana-mana. Pelayanan dokumen kependudukan semakin mudah dan cepat selesai. Sekali teken puluhan dokumen kelar saat itu juga. Tak ada lagi tanda tangan basah dan cap basah yang menyita waktu. Para pejabat Dukcapil bisa meneken persetujuan dokumen kependudukan dari mana saja dan kapan saja," katanya.
Berkat Dukcapil Go Digital pula Dukcapil melakukan lompatan lebih besar lagi yakni dengan revolusi layanan kertas putih melalui Permendagri No. 109 Tahun 2019 tentang Formulir dan Buku yang Digunakan Dalam Administrasi Kependudukan. Salah satu substansinya memuat amanat perubahan spesifikasi blanko Dokumen Kependudukan (kecuali KTP-el dan Kartu Identitas Anak), untuk pencetakan Dokumen Kependudukan menggunakan kertas HVS ukuran A4 80 gram warna putih.
Sebelumnya untuk mencetak KK, Akta Kelahiran, dan Akta Kematian dan dokumen kependudukan lainnya, Dukcapil menggunakan blanko khusus dengan kertas security. "Karena menggunakan kertas putih biasa, maka tidak perlu lagi mencetak dokumen kependudukan menggunakan kertas berhologram. Hasilnya negara bisa menghemat APBN sebesar Rp450 miliar," ungkapnya pula.
Revolusi selanjutnya yang berbasis digital yang dilakukan Dukcapil adalah meluncurkan Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM) yang diluncurkan dalam Rakornas Dukcapil November 2019 di Ancol, Jakarta.
Mesin 'ATM' Dukcapil tersebut bisa mencetak 23 dokumen kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK), KTP-el, hingga Akta Kelahiran dan Akta Kematian dalam hitungan menit.
Melalui mesin ADM ini dokumen dicetak dengan kertas putih biasa alias kertas HVS. Sebagai tanda keabsahannya setiap dokumen yang tercetak disematkan QR atau quick respons code dalam kertas tersebut.
Berbagai terobosan baru yang dlakukan Dukcapil bertujuan untuk memperbaiki kualitas layanan pemerintahan termasuk layanan adminduk
"Dengan ADM masyarakat dapat mencetak dokumennya sewaktu-sewaktu. Hari libur pun bisa dan tidak terikat wilayah administrasi. Tidak perlu lewat calo dan dipastikan tidak akan ada pungli. Pada tahun 2020 ini sudah terpasang sebanyak 77 ADM di Indonesia," demikian Prof. Zudan Arif Fakrulloh. Dukcapil***
Komentar
Komentar di nonaktifkan.